Empowering or Limiting? Sisi Gelap Kontes Kecantikan, Studi Kasus M.U.I 2023

PENDAHULUAN

Untuk sebuah acara yang diwujudkan sebagai “wadah untuk perempuan muda untuk mewujudkan impian mereka dan membuat suara mereka terdengar”, acara kontes kecantikan itu sendiri sangat amat membuahkan banyak kontroversi, terutama bagi para pesertanya dan para perempuan. Meskipun panggung besar dan gemerlap acara tersebut dapat dengan mudah memikat perhatian, ironisnya, esensi dari kontes kecantikan ini telah dicurigai oleh banyak pihak sebagai sarang eksploitasi dan favoritisme, klaim ini bisa dikuatkan dengan salah satu ucapan yang diberi dari salah satu kontestan salah satu dari “Big Four” kontes kecantikan terbesar di dunia dari India, Ia menceritakan bahwa impian-impian dia yang tertuju pada kontes kecantikan tersebut hancur melebur (Sinha, 2023).

Jika kita menggali lebih lanjut terhadap sisi gelapnya kontes kecantikan secara keseluruhan, ada juga beberapa faktor yang sangat amat merugikan para pesertanya, beberapa diantaranya adalah exploitasi (Sinha, 2023), standar kecantikan terhadap wanita yang tidak realistis, bahkan hingga kekerasan seksual dan verbal (Iriza, 2022). Keberadaan ketakutan semacam ini menunjukkan bahwa acara yang seharusnya memberikan peluang dan pemberdayaan bagi perempuan justru bisa menjadi tempat untuk penyalahgunaan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Dalam lingkup yang lebih luas, hal-hal ini justru dapat merugikan berbagai macam pihak dalam kontes kecantikan serta perempuan secara menyeluruh.

Salah satu kasus sekitar beauty pageants terbaru yang sedang ramai di media sosial adalah kasus M.U.I 2023. Pada tanggal 1 Agustus 2023, terdapat beberapa finalis yang menjadi korban pada saat melakukan prosedur-prosedur pra acara. Diduga pada saat melakukan prosedur tersebut, terdapat beberapa kegiatan yang off-schedule atau diluar rincian acara. Disaat kegiatan yang diluar rincian acara tersebut dilaksanakan, para peserta M.U.I diperintahkan untuk melakukan kegiatan tidak senonoh oleh panitia pelaksana M.U.I tersebut. Pada kajian inilah, kami akan mengulik lebih dalam tentang sisi buruknya kontes kecantikan bagi para pesertanya serta terhadap image perempuan di seluruh dunia.

SISI GELAP KONTES KECANTIKAN YANG MERUGIKAN PARA PESERTANYA SEJARAH KONTES KECANTIKAN

Kontes kecantikan bermula dari tahun 1839, yang dimana pada saat itu, masa-masa kerajaan masih ada dan masih merajalela di abad pertengahan. Kontes kecantikan itu sendiri memiliki modernisasi saat edisi pertama untuk Miss America di tahun 1921, Miss America edisi pertama hanya dilaksanakan dengan para kontestan berdiri berdampingan dan memakai pakaian renang (swimsuit), dan kontes pertama dimenangkan oleh Margaret Gorman, kontestan berumur 16 tahun.

Seiring berjalannya waktu, kontes kecantikan mendapatkan beberapa perubahan yang menyesuaikan zamannya. Disaat bersamaan juga, pergerakan feminisme juga sedang lagi marak-maraknya. Pada tahun 1968, terdapat demo besar-besaran yang memproteskan kontes kecantikan Miss America karena tindakannya yang hanya melibatkan perempuan berkulit putih dan kontes tersebut dipenuhi oleh patriarki, serta kontes kecantikan tersebut dipenuhi dengan image yang menindas perempuan dikarenakan perempuan hanya dinilai karena penampilan dan paras mereka (King, 2016).

EKSPLOITASI PARA KONTESTAN

Wanita yang sudah berkecimpung di dunia kontes kecantikan kebanyakan sudah dipersiapkan dari masa muda mereka. Masalah yang sering dihadapi oleh para kontestan kecantikan ini adalah biaya, biaya yang mereka keluarkan untuk pendaftaran serta persiapan untuk menjadi kontestan itu tidak kecil. Menurut NPR.org, biaya yang perlu dikeluarkan untuk kontes kecantikan kadang sampai melewati $5000, biaya tersebut sudah melingkupi kebutuhan pakaian, tata rias, dan lain sebagainya. Dengan biaya tersebut dan keterkaitan dengan ketatnya kompetisi, para kontestan juga mungkin tidak akan menerima kompensasi apa pun jika mereka tidak menang.

Selain biaya, para kontestan seringkali menghadapi tekanan-tekanan yang berlebihan selama mereka mengikuti kontes kecantikan. Tekanan yang berlebihan ini sangat amat merugikan mental serta kesehatan para kontestannya. Kebanyakan dari kontes kecantikan tersebut sering kali menjadi sasaran pengawasan ketat dan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang sempit, yang dapat membebani secara emosional dan menyebabkan masalah kesehatan mental (Carpinteiro, 2021). Selain itu, kebanyakan kontes kecantikan sering dikritik karena kurangnya transparansi dan profesionalisme di dalamnya. Hasilnya, para kontestan diperlakukan tidak profesional dari para penyelenggara dan para jurinya.

OBJEKTIFIKASI

Objektifikasi adalah masalah yang mengakar di kontes kecantikan, oleh karena itu, para pesertanya lebih rentan kepada standar yang berlebihan dan objektifikasi secara seksual. Standar yang berlebihan dapat meliputi banyak hal, sebagai contoh, kontes kecantikan dapat menekan para peserta untuk mengikuti stereotip gender agar bisa untuk menjadi yang terdepan dalam persaingan. Dari persaingan untuk mengikuti stereotip gender tersebut, para kontestan berusaha sebisa mungkin untuk mengubah paras fisik mereka agar bisa terlihat menarik kepada jurinya.

BODY SHAMING

Untuk sebuah acara yang mementingkan fisik, ini membuat tekanan batin terhadap para kontestannya. Jika ingin memenangkan kontes, para peserta diwajibkan untuk memenuhi standar-standar berlebih dari para jurinya. Kebanyakan kontes kecantikan membutuhkan para kontestannya untuk memenuhi standar yang ditentukan, terlebih dalam standar dalam berbagai macam pakaian yang dipakai. Kebanyakan kontestan juga menjadi korban body shaming dari para penyelenggara dan para penonton hanya dikarenakan mereka gagal memenuhi standar pakaian yang diperlukan.

Dari hal itu juga, body image juga menjadi impact yang besar untuk para pesertanya serta para perempuan secara umum. Penekanan yang kuat pada penampilan kontestan dalam kontes kecantikan, dikombinasikan dengan pengawasan yang terus-menerus mereka hadapi, dapat membuat mereka merasa tidak bahagia dengan tubuh mereka dan tidak percaya diri. Hal ini terjadi karena ada banyak tekanan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu yang mungkin tidak realistis. Tekanan ini dapat membuat mereka merasa tidak cukup baik dan menjadi sangat keras terhadap diri mereka sendiri. Hal ini tidak hanya mempengaruhi mereka selama kontes, tetapi juga dapat memengaruhi cara mereka melihat diri mereka sendiri di bagian lain dari kehidupan mereka. Jadi, penting untuk dipahami bahwa terlalu fokus pada penampilan dalam kontes kecantikan dapat berdampak serius pada perasaan kontestan terhadap diri mereka sendiri, baik saat ini maupun di masa depan.

LATAR BELAKANG KASUS M.U.I

Permulaan dari kasus pelecehan seksual dari M.U.I 2023 terjadi pada 2 hari sebelum acara grand final dari ajang kecantikan ini, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2023. Dilansir dari CNN (Kronologi Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Miss Universe Indonesia, 2023), terdapat 2 finalis M.U.I asal Jawa Barat memberikan kesaksian bahwa pada hari dan waktu yang bertepatan saat peristiwa itu terjadi, mereka tengah diagendakan untuk melakukan fitting atau kegiatan mencoba memakai kostum yang akan dikenakan saat acara nanti. Namun, kenyataan yang berlangsung pada saat itu adalah body checking yang diakui tidak ada dalam susunan agenda kegiatan. Agenda yang dimaksud ini menuntut finalis M.U.I untuk melakukan hal-hal senonoh, salah satu di antaranya untuk melepas busana di hadapan panitia penyelenggara. Selang beberapa hari pasca pengumuman pemenang, yaitu pada 7 Agustus 2023, finalis berinisial N melaporkan kepada Polda Metro Jaya atas pelanggaran pasal 4, 5, dan 6 UU Tindak Pidana Kekerasan serta pasal 14 dan 15 dalam UU yang sama. Hingga saat penulisan kajian ini, penyelidikan masih berlanjut dengan mengecek setiap saksi serta korban-korban selain N yang mulai berani untuk berterus terang mengakui bahwa mereka mengalami hal yang sama.

INKOMPETENSI ACARA SECARA KESELURUHAN BERDASARKAN BEBERAPA PIHAK

Menurut pengakuan para finalis yang telah berterus terang, mereka sudah menyadari keanehan yang terjadi sejak mereka diminta untuk melepaskan pakaian mereka. Ada pula finalis yang malu dan menunjukkan keengganan untuk melakukannya, justru dibentak oleh panitia dan dipaksa untuk menurut. Situasi semakin buruk karena lokasi pelaksanaan body checking tidak tertutup, adanya banyak orang yang berlalu lalang, dan juga adanya panitia lawan jenis yang menyaksikan agenda tersebut. Hal memprihatinkan lainnya adalah beberapa finalis diambil gambarnya saat masih telanjang dada, serta dilontarkan kata-kata yang menyerang fisik. Seluruh kejadian tersebut tentu sangat disayangkan, masyarakat pun mulai mengecam PT yang posisinya sebagai penyelenggara umum M.U.I.

Tidak heran jika masyarakat meragukan keahlian dari panitia penyelenggara M.U.I. Pemaksaan atas tubuh para finalis yang tidak bisa dilawan maupun dicegah dalam agenda body checking tersebut disebabkan oleh keberadaan relasi kuasa. Kemungkinan ini telah diakui oleh kuasa hukum N, yang berpandangan bahwa seluruh korban hanya bisa mengikuti perintah panitia karena terikat dengan kontrak kesediaan untuk mengikuti seluruh rangkaian acara. Ketiadaan konsensus yang dibangun antara panitia dengan para finalis membuktikan bahwa panitia telah menyalahgunakan wewenang dan bersikap inkompeten terhadap finalis-finalis tersebut. Selain relasi kuasa yang bekerja di dalam kasus ini, beberapa finalis yang sudah pernah mengikuti ajang serupa M.U.I mengakui bahwa baru kali ini mereka diwajibkan untuk melakukan body checking dengan mekanisme yang cukup sembarangan di tempat yang terbuka. Dari fakta tersebut, ada dua kemungkinan; agenda ini sebenarnya hanya diada-adakan oleh oknum yang ingin mencari keuntungan pribadi, atau panitia tidak mempersiapkan agenda ini dengan cukup matang.

STANDAR KECANTIKAN NON REALISTIS YANG DICIPTAKAN AJANG KECANTIKAN

Persepsi mengenai standar kecantikan perempuan terus-menerus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat adanya pergeseran dari standar kecantikan yang satu menuju ke standar kecantikan yang lainnya, dari mulai bentuk dan fitur wajah sampai tipe dan bentuk tubuh. Satu dekade yang lalu adalah sebuah tren untuk memiliki figur tubuh yang langsing dan slender-like dengan kulit cerah layaknya perempuan kulit putih dari Eropalalu beberapa tahun berikutnya standar kecantikan tersebut seakan pudar dan digantikan oleh standar yang baru, yaitu figur tubuh dengan pinggang kecil dan pinggul besar yang meliuk dengan kulit kecoklatan bagaikan Kim Kardashian. Daftar standar kecantikan ini terus menerus berganti layaknya kemasan minuman satu kali pakai. Perubahan standar kecantikan tersebut tentu tidak lepas dari peran misogini dan adanya pengaruh dari ajang kecantikan atau pageantry seperti Miss Universe.

Miss Universe merupakan ajang kecantikan tahunan yang diikuti oleh puluhan perempuan berbakat dengan berbagai latar belakang dari seluruh penjuru dunia. Tiap tahunnya, ajang ini menobatkan satu perempuan sebagai pemenang, tiap tahun pula ajang ini juga turut serta dalam membentuk standar kecantikan yang acap kali bersifat non realistis dan toxic di kalangan masyarakat. Salah satu standar kecantikan yang ditunjukkan melalui ajang kecantikan adalah kulit putih dan fitur wajah eurosentris. Menurut TRTWorld.com dan The Hoya, para peserta dinilai melalui parameter yang mengobjektifikasi pesertanya seperti proporsionalitas tubuh dan ukuran dada, penilaian ini juga dilakukan berdasarkan standar kecantikan eurosentris yang meliputi kulit putih dan rambut lurus tidak bertekstur. Walaupun pada beberapa tahun pertama ajang ini digelar keberagaman berdasarkan nasionalitas dan ras para pemenangnya sudah dapat terlihat, terdapat satu hal yang menjadi ciri khas para pemenang pada dua puluh edisi pertama ajang tersebut, mereka semua berkulit putih dan memiliki fitur wajah yang bersifat eurosentris. Hal tersebut baru berhenti pada tahun 1977 saat Janelle Commissiong menjadi perempuan berkulit hitam pertama yang menjadi ratu kecantikan sejagat raya dalam ajang tersebut. Fakta tersebut menunjukkan adanya favoritisme, kolorisme, dan bias pada warna kulit peserta ajang tersebut dalam beberapa tahun pertamanya.

Permasalahan kolorisme inilah yang kemudian dapat menciptakan suatu standar kecantikan yang non realistis bagi masyarakat, terutama perempuan remaja di negara dengan mayoritas penduduk berkulit gelap. Penulis mengambil Afrika Selatan, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan sebagai negara contoh pada topik ini. Hal ini didasari oleh banyaknya produk-produk pemutih kulit yang ditemui pada beberapa toko kosmetik di negara-negara tersebut, dimana kulit putih sering kali dianggap superior dan ideal oleh masyarakat (Charles, 2011). Konsumen produk pemutih kulit di negara-negara tersebut didominasi oleh perempuan muda dengan rentang usia 14–26 tahun. Obsesi terhadap kulit putih ini menimbulkan kekhawatiran yang besar sebab masih banyak ditemukan produk pemutih kulit dengan bahan baku berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan seperti merkuri yang masih diperjualbelikan secara bebas dan dikonsumsi oleh perempuan muda. Penggunaan jangka panjang produk pemutih berbahan merkuri dapat menyebabkan keracunan merkuri yang mengganggu fungsi kerja ginjal, sistem saraf atau bahkan kematian (Dadzie & Petit, 2009). Namun, permasalahan kolorisme dan produk pemutih kulit ini tidak serta-merta disebabkan oleh ajang kecantikan. Menurut Julien (2014), adanya problema kolorisme dan tingginya tingkat pembelian produk pemutih kulit di Afrika Selatan merupakan produk hasil dari kolonialisme yang dilakukan kaum kulit putih di masa lampau.

Miss Universe dan ajang kecantikan lainnya juga turut serta dalam menciptakan standar kecantikan lainnya yaitu bentuk tubuh ideal dan proporsional yang tentunya tidak bisa didapatkan oleh semua orang. Sepanjang sejarahnya, ajang kecantikan Miss Universe masih belum pernah mengikutsertakan perempuan plus-size, hal tersebut tentunya dapat menanamkan pemahaman bahwa untuk menjadi cantik harus berbadan langsing dengan lekuk tubuh bagaikan jam pasir pada generasi perempuan-perempuan muda. Tentunya bentuk badan seperti yang ditunjukkan oleh peserta ajang kecantikan ini tidaklah memungkinkan untuk beberapa orang. Seperti yang diketahui, bentuk tubuh sendiri terbagi menjadi beberapa jenis, orang dengan tipe bentuk badan tertentu tidak dapat mengubah bentuk tubuhnya menjadi bentuk tubuh lain secara instan ataupun tanpa bantuan dokter bedah plastik. Pemahaman tentang bentuk tubuh ideal serta kurangnya representasi bentuk tubuh yang beragam ini berpotensi untuk memicu beberapa permasalahan psikis seperti eating disorder, body dysmorphia, dan insekuritas terhadap tubuh oleh para penontonnya (Todorov, 2023).

PENUTUP

Terkenal sebagai acara yang menjanjikan panggung yang besar dan gemerlap bagi para pesertanya, kontes kecantikan itu sendiri memiliki sisi yang kelam dibaliknya. Namun, dengan adanya objektifikasi, eksploitasi, dan kekerasan seksual kepada pesertanya, sepertinya panggung yang besar dan gemerlap itu hanyalah semu. Sebagai acara yang seharusnya merayakan kaum perempuan, Miss Universe dan ajang kecantikan lainnya seharusnya dapat menjadi tempat yang aman bagi kaum perempuan untuk menggapai mimpinya dan menyampaikan pesan serta misinya tanpa adanya gangguan dari hal-hal kelam tersebut. Sebagai acara yang merayakan semua individu perempuan, sudah seharusnya ajang kecantikan tidak terpaku pada satu atau dua standar kecantikan. Kasus Miss Universe Indonesia ini dapat dijadikan sebagai introspeksi penyelenggara untuk kedepannya dan sebagai penggerak bagi ajang kecantikan serupa agar dapat menciptakan ruang yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kejadian ini pun dapat dijadikan sebagai whistleblower bagi para pesertanya yang merasa diperlakukan secara buruk ataupun tidak adil di masa lampau maupun di masa yang akan datang agar dapat berdiri dan menyampaikan suaranya.

REFERENSI

Carpinteiro, I. (2021, December 22). Beauty pageants — 50 shades of wrong — Luso Life. Lusolife.ca. https://lusolife.ca/50-shades-of-wrong/

Charles, C. A. (2011). Skin bleaching and the prestige complexion of sexual attraction. Sexuality & Culture, 15, 375–390.

Dadzie, O. E. and Petit, A. A. 2009. Skin bleaching: Highlighting the misuse of cutaneous depigmenting agents. Journal Of The European Academy Of Dermatology & Venereology 23(7): 741–750.

Iriza, J. N. (2022, May 10). Scandals, sexual abuse in beauty pageants. The New Times. https://www.newtimes.co.rw/article/195678/Entertainment/scandals-sexual-abuse-in-beauty-pageants

Julien, Nahomie. 2014. Skin Bleaching in South Africa: A Result of Colonialism and Apartheid? DISCOVERY: Georgia State Honors College Undergraduate Research Journal 2(4).

King, E. (2016, March 7). A Look Back at the Sexist, Racist History of Beauty Pageants. Racked; Racked. https://www.racked.com/2016/3/7/11157032/beauty-pageant-history

Kronologi Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Miss Universe Indonesia. (2023, August). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230808094546-277-983275/kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-miss-universe-indonesia

Sinha, S. (2023, April 20). The Dark Side Of The Crown: Beauty Pageants And Exploitation Disguised As Empowerment. Feminism in India. https://feminisminindia.com/2023/04/20/beauty-pageants-exploitation-empowerment/

The Hoya. March 3, 2022. RIVERS: Redefine Unrealistic Beauty Standards. https://thehoya.com/rivers-redefine-unrealistic-beauty-standards/

Todorov, J. 2023. Breaking the Silence: The Impact of Body Diversity in Media Targeted Towards Young Girls. Journal of Student Academic Research 4(1): 1–13.

TRTWorld. 2021. Miss Universe: A vulgar display of patriarchy and apartheid. https://www.trtworld.com/opinion/miss-universe-a-vulgar-display-of-patriarchy-and-apartheid-48796/amp

Share this post:
Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Telegram