PENDAHULUAN
Edukasi seks di Indonesia masih dipandang sebagai hal yang tabu dan “tidak terlalu penting” untuk dibahas menurut pandangan masyarakat Indonesia (Idayanti & Natalia, 2021). Padahal, edukasi seks sangat amat krusial demi kenyamanan dan keamanan dalam berhubungan intim serta memiliki dampak yang sangat penting bagi kesehatan fisik kedua pasangan. Penting juga untuk diketahui bahwa edukasi seks yang inklusif serta menyeluruh sangatlah krusial jika dibicarakan dalam konteks komunitas LGBTQ di Indonesia. Edukasi seks yang baik dan tidak diskriminatif adalah memberi pemahaman yang menyeluruh, serta dapat mengakomodasi seluruh identitas seksual dan gender yang beragam di komunitas tersebut. Dengan memberi fakta-fakta yang informatif terkait praktik seks yang sehat, penggunaan alat-alat kontrasepsi yang benar, serta cara pencegahan infeksi menular seksual, diharapkan dapat membantu anggota komunitas LGBTQ di Indonesia untuk senantiasa menjaga kesehatan reproduksi mereka.
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan isu yang penting. Komunitas LGBTQ di Indonesia menghadapi risiko yang lebih tinggi terhadap IMS karena berbagai faktor, yaitu rendahnya akses terhadap informasi kesehatan yang akurat, diskriminasi, serta kurangnya dukungan kesehatan yang sensitif terhadap kebutuhan mereka (Noviyani, 2017). Stigma dan diskriminasi yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender seringkali menghambat upaya pencegahan, pengujian, dan pengobatan IMS di kalangan anggota komunitas LGBTQ (Ayhan et al., 2019). Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran, memberikan pendidikan seksual inklusif, dan memperkuat akses layanan kesehatan yang responsif terhadap keberagaman seksual dan gender. Dengan demikian, kita dapat mengurangi angka IMS dan meningkatkan kesehatan seksual dan kesejahteraan anggota komunitas LGBTQ di Indonesia.
Persepsi serta stigmatisasi buruk yang dialami oleh masyarakat yang merupakan bagian dari komunitas LGBTQ di Indonesia sangat berdampak pada kenyamanan serta keamanan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Diskriminasi, kekerasan, serta perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh individu dalam komunitas LGBTQ dapat menimbulkan dampak psikis dan fisik yang serius. Salah satu studi kasus diskriminasi terhadap individu komunitas LGBTQ di Indonesia adalah persekusi dua transpuan di Yogyakarta pada Minggu, 28 Oktober 2018. Mereka dianiaya, ditelanjangi, serta diarak di jalan. Salah satu korban, seorang transpuan berusia 25 tahun, mengalami luka di bagian kepala dan wajah, sedangkan korban lainnya, seorang transpuan berusia 32 tahun, mengalami luka di bagian kaki dan tangan. Kasus ini menjadi sorotan di penjuru negeri karena menunjukkan diskriminasi dan kekerasan yang masih dialami oleh komunitas LGBTQ di Indonesia. Motif yang didasarkan oleh para oknum diduga stigma dan kultur agama yang kuat.
PERSEPSI YANG SALAH TERHADAP LGBTQ+ DAN IMS
IMS atau Infeksi Menular Seksual merupakan infeksi yang dapat terjadi akibat dari hubungan seksual baik secara vaginal, anal, maupun oral. Infeksi menular seksual dapat menyerang siapa saja, karena terjadinya infeksi dapat mengindikasikan kurangnya pemahaman akan hubungan seksual yang sehat. IMS bukan berkaitan dengan orientasi seksual seseorang. Namun, terdapat persepsi yang salah terkait infeksi menular seksual, yang menyebutkan bahwa komunitas LGBTQ rentan mengalaminya. Persepsi salah ini timbul karena kurangnya pemahaman tentang IMS dan LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer), yang mana seringkali didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan.
Beberapa persepsi umum yang salah adalah menganggap IMS dan LGBTQ sebagai penyimpangan atau gangguan mental. Pandangan ini tidak akurat karena IMS dan LGBTQ bukanlah penyakit mental atau gangguan psikologis. Identitas gender dan orientasi seksual seseorang adalah bagian alami dari keragaman manusia. Selain itu, persepsi keliru lainnya ialah LGBTQ dianggap sebagai pilihan atau gaya hidup yang dipilih manusia. Padahal orientasi seksual dan identitas gender bukanlah hasil dari pengaruh luar atau pilihan individu, melainkan muncul secara alami dan tidak dapat diubah.
Persepsi salah lainnya adalah anggapan bahwa LGBTQ dapat “diobati” atau “dikoreksi”. Upaya untuk mengubah orientasi seksual atau identitas gender seseorang melalui terapi konversi atau tindakan lainnya tidak hanya tidak efektif, tetapi juga berpotensi merugikan dan membahayakan individu. IMS dan LGBTQ juga sering dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, padahal pandangan agama terhadap IMS dan LGBTQ sangat beragam. Banyak komunitas agama dan pemimpin agama yang mendukung penerimaan dan inklusi terhadap individu LGBTQ.
Terakhir, LGBTQ sering kali disalahkan atas penyebaran IMS. Anggapan ini merupakan persepsi yang keliru. Penyebaran IMS tidak terkait dengan orientasi seksual atau identitas gender seseorang, melainkan terkait dengan perilaku seksual yang tidak aman.
Guna mengatasi persepsi-persepsi yang salah di atas, penting untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang IMS dan LGBTQ. Dukungan terhadap pendidikan yang inklusif dan dialog terbuka sangat penting. Dengan mempromosikan pemahaman yang lebih baik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih menerima dan berlaku adil pada penderita IMS dan LGBTQ.
KURANGNYA PEMAHAMAN TENTANG IMS
Dari kesalahan persepsi terhadap IMS yang kerap terjadi di khalayak umum, sudah semestinya kita melakukan perubahan. Perubahan dimulai dari seseorang yang tidak tahu menjadi tahu tentang pengertian dari IMS. Selain bermanfaat untuk menambah pengetahuan, kita menjadi mampu membedakan berbagai IMS yang berguna untuk menjaga kesehatan fisik terutama diri kita sendiri. Istilah IMS merupakan kategori infeksi yang mewakili berbagai penyakit di bawahnya.
IMS atau Infeksi Menular Seksual adalah infeksi yang disebabkan oleh hubungan seksual maupun gaya hidup yang tidak baik terhadap organ reproduksi. Penularan utamanya terjadi pada hubungan seksual yang aktif (berkenaan dengan vagina, penis, mulut, maupun anus) serta berganti-ganti pasangan untuk melakukannya. Selain itu, gaya hidup yang dimaksud ialah memakai handuk atau pakaian yang sama secara bergantian, melakukan masturbasi dengan cara atau alat yang tidak aman, serta kebiasaan bercebok yang tidak higienis. Dari kedua penyebab utama tersebut, timbul bakteri, parasit, ataupun virus. Infeksi ini menyerang organ reproduksi dan dapat menyebar ke organ lainnya jika tidak ditangani dengan tepat.
IMS terdiri dari beberapa jenis penyakit. Menurut WHO (Sexually Transmitted Infections (STIs), 2022), beberapa jenis tersebut dapat disembuhkan, seperti gonore, sifilis, chlamydia, dan trichomoniasis. Selain keempat penyakit tersebut, belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan. Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit ini dapat menimbulkan kemandulan, cacat janin bagi penderita yang tengah hamil, kerusakan organ lainnya, hingga kematian. Maka dari itu, perlu kita ketahui pula pencegahannya sebagai berikut.
- Kondom
Menggunakan kondom dengan benar dan konsisten merupakan salah satu cara paling efektif dalam mencegah IMS sekaligus mencegah penularan HIV. Meskipun begitu, kondom tidak berfungsi efektif terhadap penularan IMS yang menyebabkan ulkus ekstra genital seperti sifilis dan herpes genital. Penggunaan kondom dianjurkan dalam hubungan seks vaginal dan anal.
- Vaksin
Pencegahan IMS berikutnya adalah dengan vaksin HPV yang sekaligus berguna untuk dua virus, hepatitis B dan HPV (untuk kanker serviks). Pada penelitian vaksin untuk meningitis (MenB) menunjukkan dapat melindungi secara silang terhadap penyakit gonore.
- Sunat
Cara lain untuk mencegah IMS dapat dilakukan dengan sunat laki-laki secara medis, sukarela, dan dewasa.
- Mikrobisida
Mikrobisida juga dapat mencegah dan mengatasi IMS. (who.int) Mikrobisida adalah bahan kimia antiinfeksi yang aktif melawan HIV dan juga sering manangkal IMS lainnya. (nature.com) Mikrobisida berjenis self-administered profilaksis (pencegahan infeksi dengan obat) yang diaplikasikan pada vagina atau rektum. Mikrobisida dapat berbentuk gel, krim, film, supositoria. (hindawi.com)
- Cek Kesehatan Reproduksi
Dari semua cara di atas, melakukan check up kesehatan reproduksi secara berkala dan rutin dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya IMS pada tingkat lanjut.
DAMPAK DARI ADANYA PERSEPSI
Persepsi yang keliru mengenai IMS tentunya turut memberikan dampak negatif bagi penderitanya dan kelompok yang termarjinalisasi, salah satunya komunitas LGBTQ. Kekeliruan dan minimnya pemahaman tentang IMS dapat berujung pada stigmatisasi dan diskriminasi komunitas LGBTQ yang kemudian dapat menimbulkan persekusi terhadap mereka di masyarakat. Anggapan bahwa komunitas LGBTQ merupakan penyumbang utama atau bahkan satu-satunya sumber penularan IMS, dapat berakibat fatal pada keselamatan serta kesehatan mental komunitas LGBTQ. Tingginya sentimen publik terhadap komunitas LGBTQ memicu upaya-upaya untuk mengeksklusi mereka dari kehidupan bermasyarakat yang juga mengarah pada persekusi. Tak jarang ditemukan berita mengenai kekerasan maupun kriminalisasi yang dialami oleh komunitas LGBTQ akibat adanya diskriminasi dan kebencian yang timbul secara konstan akibat dari stigma yang beredar mengenai mereka (Ransyah & Rahayu, 2018).
Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, sepanjang tahun 2017 terdapat 973 individu yang menjadi korban dari stigma, diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender di luar norma biner heteronormatif dengan korban terbanyak berasal dari kelompok transgender, yakni sebanyak 715 orang, disusul berikutnya oleh kelompok gay sebanyak 225 orang dan kelompok lesbian sebanyak 29 orang. Sementara 4 korban lainnya kami kategorikan sebagai korban lain-lain. Bentuk diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ dapat berupa perundungan, diskriminasi dalam ruang lingkup pekerjaan, ataupun kekerasan secara verbal dan fisik.
Dalam ruang lingkup pekerjaan, diskriminasi direfleksikan lewat banyaknya individu komunitas LGBTQ, terutama kaum transpuan, yang kehilangan kesempatan bekerja karena ekspresi gender mereka yang dianggap abnormal oleh masyarakat awam (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2015). Padahal pada pasal 27 ayat 2 UUD disebutkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. Bentuk lain dari persekusi komunitas LGBTQ adalah maraknya tindakan bullying baik lewat media online maupun secara langsung. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah perundungan yang dilontarkan masyarakat kepada beberapa pemuda queer pada pagelaran Citayem Fashion Week yang marak diperbincangkan beberapa waktu lalu. Cemoohan dan pelecehan secara verbal secara lantang diunggah lewat media sosial oleh masyarakat biasa sampai individu sekelas Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza (Madrim, 2022).
Salah satu tindak kriminalisasi komunitas LGBTQ yang paling kontroversial adalah penangkapan sekelompok transpuan di Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, pada 27 Januari 2018. Sebanyak 12 transpuan ditahan di sebuah salon tempat mereka bekerja, yang mana polisi kemudian memotong paksa rambut mereka dan menuntut agar mereka mengenakan pakaian “maskulin”. Video penahanan dan pemaksaan pencukuran kepala mereka viral di jagat media sosial Indonesia. Kapolres Aceh Utara saat itu, Utung Sangaji, mengatakan kepada surat kabar lokal bahwa meningkatnya jumlah lesbian, gay, biseksual dan transgender di Aceh berdampak buruk bagi generasi muda (Nathaniel, 2018).
Diskriminasi dan kriminalisasi komunitas LGBTQ ini kian dipermudah dengan adanya politisasi dan pengesahan RKUHP yang dapat mempidanakan segala aktivitas homoseksual. Tentunya hal ini akan membahayakan dan menambah kerentanan komunitas LGBTQ terhadap persekusi di masa yang akan datang. Beberapa kasus kriminalisasi LGBTQ sudah terjadi di Indonesia namun tidak ada hukum positif yang terlanggar secara pasti menyebutkan tindakan LGBTQ dan hanya mendekati perbuatan yang tersebut dalam delik salah satunya pasal 292 KUHP, akibat belum adanya upaya kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi perbuatan tersebut. Pasal 292 KUHP juga menyebutkan tindakan seksual sesama kelamin atau sejenis namun tidak bisa menjerat pelaku LGBTQ karena perbuatan tersebut harus dilakukan terhadap anak dibawah umur. Pasal 292 KUHP berbunyi:
“…orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
Beberapa pelaku akhirnya hanya dibebaskan karena tidak dapat dijerat pidana dan tidak dapat dijerat dengan Pasal 292 KUHP. Karena secara detail perbuatan tersebut bukan perbuatan LGBTQ, namun dianggap perbuatan sodomi. Namun perbuatan LGBTQ itu sesungguhnya sudah menciderai nilai-nilai keseimbangan Pancasila dan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat serta mendekati perbuatan pornografi. Ada baiknya tindakan LGBTQ ini dirumuskan dalam undang-undang pornografi dengan melakukan perluasan makna serta penjelasan dari Pasal 292 KUHP serta Pasal 10 undang-undang pornografi.
KESIMPULAN
Edukasi seks di Indonesia yang masih dianggap tabu membuat masyarakat kurang memahami tentang berbagai hal yang berkaitan dengan seksualitas, termasuk tentang Infeksi Menular Seksual (IMS). Adanya komunitas LGBTQ di Indonesia yang belum bisa diterima oleh banyak orang di Indonesia pun dijadikan sasaran untuk disalahkan akan maraknya penularan Infeksi Menular Seksual (IMS). Padahal, IMS dapat menyerang siapa saja dan bukan hanya komunitas LGBTQ yang rentan untuk mengalaminya. Munculnya persepsi yang salah tersebut membuat komunitas LGBTQ di Indonesia terkena berbagai dampak negatif hingga ada yang terkena persekusi dari masyarakat. Hal ini tentunya merugikan dan perlu dihentikan.
Maka dari itu, diperlukan adanya edukasi seksual yang menyeluruh untuk masyarakat Indonesia. Dengan meningkatkan edukasi tentang Infeksi Menular Seksual, diharapkan persepsi yang salah tentang komunitas LGBTQ dapat dikoreksi, pengetahuan tentang risiko IMS dapat ditingkatkan, dan upaya pencegahan dan pengobatan dapat menjadi lebih efektif. Hal ini akan berkontribusi pada kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi setiap individu serta memperkuat kesadaran dan dukungan terhadap keberagaman seksual dan gender.
REFERENSI
Idayanti, E., & Natalia, L. (2021). Abstinence-Only Sex Education: A Missing Yet Crucial Topic in Digital Media.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2015). Pandangan Masyarakat Terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Jakarta, Bogor, Depok dan Tangerang.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. (2017). Seri Monitor dan Dokumentasi: Bahaya Akut Persekusi LGBT.
Madrim, S. (2022). Pernyataan Diskriminatif Pejabat Publik terhadap LGBT Dinilai Bisa Picu Persekusi. Retrieved from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/pernyataan-diskriminatif-pejabat-publik-terhadap-lgbt-dinilai-bisa-picu-persekusi/6681177.html
Maimunah, S. (2019, August). (PDF) Importance of Sex Education from the Adolescents’ Perspective: A Study in Indonesia. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/335525712_Importance_of_Sex_Education_from_the_Adolescents
Mazrieva, E. (2018, November 24). Lagi, Dua transpuan Dipersekusi. VOA Indonesia; Voice of America | Bahasa Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/lagi-dua-waria-dipersekusi/4672260.html
Nathaniel, F. (2018). Aksi AKBP Untung Sangaji di Aceh Soal LGBT Menuai Kritik YLBHI. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/aksi-akbp-untung-sangaji-di-aceh-soal-lgbt-menuai-kritik-ylbhi-cEdo
Prawira, A. E. (2014). Diskriminasi Waria di Indonesia Masih Sangat Memprihatinkan. Retrieved from Liputan6: https://www.liputan6.com/health/read/2017460/diskriminasi-waria-di-indonesia-masih-sangat-memprihatinkan
Singh, O., Garg, T., Rath, G., & Goyal, A. K. (2014). Microbicides for the Treatment of Sexually Transmitted HIV Infections. Journal of Pharmaceutics, 2014, 1–18. https://doi.org/10.1155/2014/352425
Stone, A. (2002b). Microbicides: a new approach to preventing HIV and other sexually transmitted infections. Nature Reviews Drug Discovery, 1(12), 977–985. https://doi.org/10.1038/nrd959
What causes sexually transmitted diseases (STDs) or sexually transmitted infections (STIs)? | NICHD — Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development. (2017, Januari 31). https://www.nichd.nih.gov/health/topics/stds/conditioninfo/causes
Yansyah, R. dan Rahayu, R. (2018). Globalisasi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT): perspektif HAM dan agama dalam lingkup hukum di Indonesia. Law Reform 14(1): 132–146.
World Health Organization. (2022, August 22). Sexually transmitted infections (STIs). Who.int; World Health Organization: WHO. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/sexually-transmitted-infections-(stis)